SUBJEK PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Subjek
menurut bahasa adalah pelaku. Sedangkan pendidikan
berasal dari kata dasar didik yang artinya memelihara dan memberi
latihan (ajaran, tuntunan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran yang mendapat
awalan pen dan akhiran an. Jadi Subyek Pendidikan adalah orang yang
mendapat tugas sebagai pelaku dalam hal ini adalah guru yang berhubungan dengan
dunia pendidikan.
Allah SWT, berkehendak untuk menciptakan khalifah-khalifah-Nya di muka bumi
dengan tugas memakmurkan alam dan mengembangkan amanat risalah serta menegakkan
segala amal yang mengandung kemaslahatan, kebaikan dan kebenaran. Pemberian
tugas khalifah ini disertai bekal potensi dan ilmu yang dibekalkan dari Allah.
Demikianlah khalifah itu ditugaskan untuk senantiasa menjalankan syariat Allah
dan mengemban tanggungan yang dipikirkan kepadanya : jika tidak melakukannya,
berarti ia telah mengikuti syahwatnya dan menjadi perusak di muka
bumi.
Untuk dapat menjalankan fungsinya tersebut, maka manusia dituntut untuk memiliki
ilmu pengetahuan. Menurut pandangan Al-Quran, ilmu terdiri dari dua macam:
Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, dinamai ilmu laduni. Kedua ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai ilmu
kasbi.
Adapun memperoleh ilmu kasbi itu dapat ditempuh melalui jalur
pendidikan baik yang formal maupun non formal.
Salah satu komponen dalam pendidikan yang mempunyai peranan sangat penting
adalah pendidik/guru (subyek didik). Karena guru sebagai tenaga profesional
tidak semata-mata sebagai pengajar yang transfer of value dan
sekaligus sebagai pembimbing.
B. LANDASAN AL-QURAN SURAT AR-RAHMAN : 1 – 4
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah; Yang telah mengajarkan A-Quran. Dia menciptakan
manusia; mengajarnya pandai berbicara.
Apabila disimak dari salah satu ayat tersebut sangtlah jelas, bahwa Allah yang
telah mengajarkan Al-Quran berupa informasi tentang penciptaan manusia dan
mengajarnya dengan pandai berbicara. Al-Quran sendiri dalam hal ini,
menggunakan kata al-rahman tidak kata Allah, dilanjutkan dengan kata al-ihsan
tentunya mempunyai maksud dan tujuan tertentu.
Dari ayat tersebut ada kata yang menarik untuk dipahami yaitu al-rahman
allama dan Al-Quran suatu kalimat yang meruipakan kesatuan dalam
proses belajar mengajar di mana al-rahman sebagai guru, Al-Quran
adalah sarana yang diberikan guru Allah untuk manusia dan juga termasuk guru
bagi orang yang membacanya (1qra) dan allama adalah proses.
Dari segi bahasa, guru atau pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan
dalam bidang mendidik.
Dalam bahasa Inggris istilah guru ini memiliki beberapa kata yang
berdekatan, begitu pula dalam bahasa Arab sebagimana yang dituangkan al-Ghazali
yaitu al-Madaris yang berarti teacher (guru), instructor
(pelatih), trainer (pemandu).
Selanjtnya kata muaddib atau murabbi berarti educator
(pendidik) atau Techer in Karanic School (guru dalam lembaga pendidikan
Al-Quran), selain itu ada ustadz yang berarti teacher (guru), professor
(gelar akademik), jenjang di bidang inteletual, pelatih, penulis dan penyair,
serta al-walid yang berarti the second parent (orang tua kedua).
Keutamaan profesi guru sangatlah besar, sehingga Allah menjadikannya
sebagai tugas yang diemban Rasulullah SAW, sebagaimana diisyaratkan lewat
firman-Nya :
Sungguh
Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang
membecakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka dan
mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
(QS. Ali-Imran: 164)
Filosof Muslim seperti Ibnu Sina berpendapat bahwa guru harus memiliki
kemampuan untuk mengarahkan dan membina anak didiknya sesuai dengan nilai-nilai
kehidupan yang luhur dan bermartabat menurut pandangan agama,
untuk itu seorang guru hendaknya memiliki kepribadian, pengetahuan, dan
pandangan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW yang mulia, karena guru pada
hakekatnya sebagai pewaris para Nabi.
Dari gambaran ayat di atas, guru memiliki beberapa fungsi diantaranya:
Pertama, Fungsi penyucian,
artinya seorang guru berfungsi sebagai pembersihh diri, pemelihara diri,
pengembang, serta pemelihara fitrah manusia.
Kedua, Fungsi pengajaran,
artinya seorang guru berfungsi sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan berbagai
keyakinan kepada manusia agar mereka menerapkan seluruh pengetahuannya daam
kehidupan sehari-hari.
Sedangkan menurut ‘Athiyah al- Abrasyi menyatakan bahwa fungsi guru antara
lain: Pertama, sebagai pemberi pengetahuan yang benar. Kedua,sebagai
pembina akhlak yang mulia . Ketiga,pemberi petunjuk tentang hidup yang
baik.
Ag. Sujanto menjelaskan fungsi guru itu menjadi tiga, yakni fungsi intruksional
(pengajaran), fungsi edukatif (bimbingan), dan fungsi managerial
(administrasi).
Dari beberapa fungsi di atas, nampaklah bahwa guru memiliki tugas yang
disertai kesabaran, keikhlasan tanpa pamrih, antara lain: sebagai pengajar,
guru bertugas membina perkembangan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan murid.
Sebagai pembimbing, guru berkewajiban memberikan bimbingan kepada murid dalam
mengembangkan kemampuan dan potensi dirinya sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai
administrator, guru bertugas mengelola kelas dalam interaksi belajar mengajar
sehingga tercipta kondisi belajar yang baik.
Guru merupakan unsur yang sangat esensi dalam memberi bimbingan dan bantuan
kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai
kedewasaan, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah SWT., kholifah di
muka bumi.
Guru merupakan sumber ilmu dan moral. Ia adalah figur indentifikasi dalam
hal keluasan ilmu dan keluhuran akhlak di mana manusia (anak didik) akan
mengikuti jejak langkahnya agar terhindar dari kegelapan dan masuk dalam
kebenaran yang hakiki.
Begitulah kehebatan peran dan pengaruh guru itu, sehingga ahli sejarah
terkemuka Henry Adams, berkata bahwa: “Seorang guru itu berdampak abadi,
ia tidak pernah tahu, di mana pengaruhnya berhenti”( A techer affers
eternity, he can never tell where his influence stops).
Maka tidak berlebihan jika sampai ada pameo yang mengatakan: “guru kencing
berdiri, murid kencing berlari:
Karena guru itu dari asal kata digugu dan ditiru. Digugu artinya mempercayai,
menuruti, mengindahkan. Ditiru artinya melakukan sesuatu menurut apa yang
diperbuat oleh orang lain, mencontoh, meneladani.
Oleh karena itu tanggungjawab guru itu bukan hanya anak itu menjadi pintar,
akan tetapi juga anak menjadi benar (moral) guru bertanggungjawab atas
tercapainya hasil belajar siswa dan bertanggungjawab secara profesional untuk
terus menerus meningkatkan kemampuannya. Peranan guru sangatlah besar dalam
memajukan suatu bangsa sebagai pencetak SDM lewat pendidikan.
C. SURAT AL-KAHFI : 66 – 68 :
Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku
mengikutimu supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa yang
telah diajarkan kepadamu untuk menjadi petunju? “Dia menjawab, “Sesungguhnya engkau
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagamana engkau dapat sabar
atas sesuatu, yang engkau belum jangkau secara menyeluruh bertanya?
Dalam pertemuan kedua tokoh itu Musa
berkata kepadanya, yakni kepada hamba Allah yang memperoleh ilmu khusus
ilmu itu, “Bolehkah aku mengikutimu secara bersungguh-sungguh supaya
engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa, yakni ilmu-ilmu yang
telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju
kebenaran? ”Dia menjawab, sesunggguhnya engkau hai Musa sekali-kali
tidak akan sanggup sabar bersamaku. Yakni peristiwa-peristiwa yang engkau
akan alami bersamaku, akan membuatmu tidak sabar. Dan yakni
padahal bagaimana engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau belum
jangkau secara menyeluruh hakikat bertanya? “Engkau tidak memiliki
pengetahuan batiniah yang cukup tentang apa yang akan engkau lihat dan alami
bersamaku.
Kata (ﺨﺒﺮﺍ )
khubron pada ayat ini bermakna pengetahuan yang mendalam. Dari
akar kata yang sama lahir kata (ﺨﺒﻴﺮ) khabiir, yakni pakar
yang sangat dalam pengetahuannya. Nabi Musa as, memiliki ilmu lahiriah dan
menilai sesuatu berdasarkan hal-hal yang bersifat lahiriah. Seperti diketahui,
setiap hal yang lahir ada pula sisi batiniahnya, yang mempunyai peranan yang
tidak kecil bagi lahirnya lahiriah. Sisi batiniah inilah yang tidak terjangkau
oleh pengetahuan Nabi Musa as. Hamba Allah saleh secara tegas menyatakan bahwa
Nabi Musa tidak akan sabar, bukan saja karena Nabi Musa dikenal berkepribadian
sangat tegas dan keras, tetapi karena lebih-lebih peristiwa dan apa yang akan
dilihatnya dari hamba yang shalih itu, sepenuhnya bertentangan dengahn
hukum-hukum syar’i yang bersifat lahiriah dan yang dipegang teguh oleh Nabi
Musa as.
Kata (ﺍﺘﺒﻌﻚ ) attabiuka
dari kata (ﺘﺒﻊ) tabi’a,
yakni mengikuti. Penambahan huruf (ﺖ) ta’ pada
kata attabi’ka mengandung nama kesungguhan dalam upaya mengikuti
itu. Memang demikianlah seharusnya seorang pelajar, harus bertekad untuk
bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa yang
akan dipelajarinya.
Ucapan Nabi Musa sungguh-sungguh halus.
Beliau tidak menuntut untuk diajar tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk
pertanyaan, “Bolehkah aku mengikutimu? “Selanjtnya beliau menamai
pengajaran yang diharapkannya itu sebagai ikutan, yakni beliau
menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga
menggarisbawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi, yakni untuk
menjadi petunjuk baginya. Di sisi lain, beliau mengisyaratkan keluasan ilmu
hamba yang shalih itu sehingga Nabi Musa hanya mengharap kiranya dia
mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya. Dalam
konteks itu Nabi Musa tidak menyatakan “apa yang engkau ketahui wahai
hamba Allah”, karerna beliau sepenuhnya sadar, bahwa ilmu pastilah bersumber
dari sartu sumber, yakni dari Allah Yang Maha Mengetahui. Memang Nabi Musa
dalam ucapannya itu tidak menyebut nama Allah sebagai sumber pengajaran, karena
hal tersebut telah merupakan aksioma bagi manusia beriman. Di sisi lain, di
sini kita menemukan hamba yang shalih itu juga penuh dengan tata krama. Beliau
tidak langsung menolak permintaan Nabi Musa, tetapi menyampaikan penilaiannya,
bahwa Nabi agung itu tidak akan bersabar mengikutinya sambil menyampaikan
alasan yang sungguh logis dan tidak menyinggung perasaan tentang sebab ketidaksabaran
itu.
Kata (ﺘﺤﻂ) tuhith
terambil dari kata ﺍﺤﺎﻂ - ﻴﺤﻴﻄ))
ahaatha yuhiithu, yakni
melingkari. Kata ini
digunakan untuk menggambarkan penguasaan dan kemantapan
dari segala segi
dan sudutnya bagaikan sesuatu yang melingkari sesuatu yang lain.
Thahir Ibnu ‘Asyur memahami jawaban hamba Allah yang shalih bukan dalam
arti memberi tahu Nabi Musa tentang ketidaksanggupannya, tetapi menuntutnya
untuk berhati-hati, karena seandainya jawaban itu pemberitaan ketidaksanggupan
kepada Nabi Musa tentu saja hamba Allah itu tidak akan menerima diskusi, dan
Nabi Musa pun tidak akan menjawab bahwa Insya Allah dia akan sabar.
Hemat penulis, pendapat ini tidak terlalu tepat. Apalagi dengan sekian
penekanan-penekanan dalam redaksi hamba Allah itu, yakni kata sesungguhnya,
serta sekali-kali tidak akan. Di sisi lain, pemberitahuan itu
menunjukkan kepada Nabi Musa secara dini tentang pengetahuan hamba Allah itu
menyangkuit peristiwa-peristiwa masa yang akan datang yang merupakan
keistimewaan yang diajarkan Allah kepadanya. Memang Nabi Musa ketika itu belum
mengetahuinya, kerana itu setelah beliau mendesak untuk ikut, hamba Allah itu
menerima untuk membuktikan kebenaran ucapannya, dan keran itu pula sebagaimana
terbaca di bawah, ia mengulangi ucapannya itu setiap Nabi Musa menununjukkan
ketidaksabarannya.
Ucapan hamba Allah ini, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya
menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi
dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika
sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang
ilmu yang akan dipelajarainya.
Hamba yang shalih itu berkata “Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak
akan sanggup sabar bersamaku. “Kata (ﻤﻌﻲ) ma’iya / bersama aku mengandung sebab
ketidaksabaran itu. Dalam arti ketidaksabarannya bukan karena pengetahuan
yang dimiliki oleh hamba yang shalih itu, tetapi dari apa yang dilihat oleh
Nabi Musa ketika bersama beliau. Ketika beliau melihat pembocoran perahu, atau
pembunuhan anak dan pembangunan kembali dinding – seperti akan terbca nanti –
apa yang akan dilihatnya itulah, yang menjadikan Nabi Musa, tidak sabar,
bukannya pengetahuannya tentang pembocoran perahu agar menghindari yang lalim,
atau bagaimana masa depan anak itu. Memamng dampak pengetrahuan terhadap jiwa
berbeda dengan dampak penyaksian. Yang kedua jauh lebih dalam dan berkesan. Itu
juga sebabnya ketika Nabi Musa pergi bermunajat kepada Allah dan di sana beliau
diberitahu tentang kedurhakaan kaumnya dengan menyembah anak lembu, beliau
belum terlalu marah, tetapi begitu kembali dan meliohat kenyataan, maka
amarahnya memuncak, dia menarik kepala saudaranya, yakni Nabi Harun serta
melemparkan lauh-lauh taurat yang baru saja diterimanya dari Allah (baca
kisahnya dalam QS Al-Arof: 148-150).
D. KESIMPULAN
Salah satu komponen dalam pendidikan yang mempunyai peranan sangat penting
adalah pendidik/guru (subyek didik). Karena guru sebagai tenaga profesional
tidak semata-mata sebagai pengajar yang transfer of value dan
sekaligus sebagai pembimbing.
Guru merupakan unsur yang sangat esensi dalam memberi bimbingan dan bantuan
kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai
kedewasaan, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah SWT., kholifah di
muka bumi.
Kita hendaknya mengambil hikmah pelajaran kisah dalam Al-Quran dua sosok
manusia yaitu, Nabi Hidir AS dan Nabi Musa AS, di mana kedua nabai tersebut
berperan sebagi guru dan murid. Sebagai seorang pendidik hendaknya menuntun
anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam
menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang
pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu
yang akan dipelajarainya dan seorang pelajar, harus bertekad untuk bersungguh-sungguh
mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya.
Oleh karena itu tanggungjawab guru itu bukan hanya anak itu menjadi pintar,
akan tetapi juga anak menjadi benar (moral) guru bertanggungjawab atas
tercapainya hasil belajar siswa dan bertanggungjawab secara profesional untuk
terus menerus meningkatkan kemampuannya. Peranan guru sangatlah besar dalam
memajukan suatu bangsa sebagai pencetak SDM lewat pendidikan.
. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Bandung,
Mizan, 1996, hal. 435-436.
. W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 250
.
Malik
Fajar, H.A, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Depag, 1998, hal 212
.
Depag, Peningkatan
Wawasan Kependidikan, Jakarta, hal; 62